Rabu, 08 Desember 2010

TAFSIR AYAT-AYAT TENTANG AKHIRAT

BAB I
PENDAHULUAN
Sebagai seorang muslim, kita harus yakin bahwa setelah kehidupan dunia, ada kehidupan akhirat yang kekal. Akan tetapi banyak kita lihat, sebagian kaum muslimin lebih mementingkan kehidupan dunia. Hal ini nampak dalam kehidupan sehari-hari, misalnya ketika adzan telah berkumandang sebagian dari kita tidak menyegerakan untuk melaksanakan shalat. Mereka lebih suka menyibukkan diri dengan urusan-urusan dunia dan sebagainya.
Tentunya kita harus prihatin, kemudian kita juga harus berusaha untuk menyadarkan mereka agar tidak terlena oleh kehidupan dunia. Kita harus berupaya untuk mengetahui tentang hakikat kehidupan dunia dan kehidupan akhirat serta meyakini bahwa sanya segala sesuatu yang kita lakukan di dunia, baik berupa amal sholeh maupun amal buruk pasti akan mendapat pembalasan dari Allah ta’ala. Sebagaimana firmannya dalam surat Al-Zalzalah ayat 10-11.
Maka dari itu penting bagi kita untuk mengetahui hakikat kehidupan dunia dan akhirat serta pembalasan bagi perbuatan yang telah kita lakukan di dunia. Sehingga, kita akan menjadi orang yang beruntung.

A.Hakikat Akhirat
1. Tafsir Surat Al-A’laa Ayat 16-17
Ayat ini tidak mempunyai asbabun nuzul. Ayat ini bermunasabah dengan beberapa ayat Al-Qur’an diantaranya : QS.Gafir : 39, QS.Al-An’am, QS.Yusuf:57
        
“Bahkan kamu mengutamakan kehidupan dunia, padahal akhirat lebih baik dan lebih kekal”.
   
“Tetapi kamu (orang-orang kafir ) memilih kehidupan duniawi”. Menurut Ibnu Katsir, maksud dari ayat tersebut adalah “Kalian mengutamakan kehidupan duniawi daripada urusan akhirat. Kalian mengutamakan kehidupan duniawi daripada sesuatu yang memberikan kalian manfaat dan kebaikan di dunia dan di akhiratmu”. Ayat-ayat di atas mengecam manusia secara umum dan orang-orang kafir secara khusus .
Kata tu’tsirun terambil dari kata atsra yang berarti mengabil sesuatu tanpa mengambil yang lain, sehigga teras ada semacam penilaian keistimewaan tersendiri pada sesuatu yang diambil itu, keistimewaan yang tidak dimiliki oleh yang lain. Dalam bahasa Arab dikenal kata-kata ista’tsara Allahu bi-fulan. Maksudnya Allah memilihnya(mematikannya) karena adanya keistimewaan pada yang wafat itu yang tidak dimiliki oleh orang-orang lain ketika itu.
Kata ad-dunya terambil dari kata dana yang berarti dekat atau dari kata dani’ yang berarti hina. Arti pertama menggambarkan kehidupan dunia adalah kehidupan yang dekat serta dini dan dialami sekarang, sedangkan kehidupan akhirat adalah kehidupan jauh dan akan datang.Dari sini dapat dimengerti mengapa ditemukan puluhan ayat yang memperingatkan tentang hakikat kehidupan duniawi dan sifatnya yang sementara agar keindahannya tidak mengahambat perjalanan menuju Tuhan .
Al-Qur’an ketika menguraikan sifat kesementaraan dari dunia dan kedekatannya bukan berarti meremehkan kehidupan kehidupan dunia atau menganjurkan untuk meninggalkan dan tidak memperhatikannya, tetapi mengingatkan manusia akan kesementaraan itu sehingga tidak hanya berusaha memperoleh kenikmatan dan gemerlap duniawi serta mengabaikan kehidupan kekal. Hal ini terbukti dengan anjuran Al-Qur’an menjadikan dunia sebagai sarana menuju kehidupan di akhirat:
           
“Tuntutlah melalui apa yang dianugerahkan Allah kepadamu ( di dunia ini ), kebahagiaan hidup di akhirat dan jangan lupakan bagianmu di dunia ini” (QS.al-Qashas :77)
Dunia adalah kebenaran bagi yang menyadari hakikatnya, ia adalah tempat dan jalan bagi yang memahaminya. Dunia adalah arena kekayaan bagi yang menggunakannya untuk mengumpul bekal perjalanan menuju keabadian. Serta aneka pelajaran bagi yang merenung dan memperhatikan fenomena serta peristiwa-peristiwanya. Ia adalah tempat mengabdi para pecinta Allah, tempat berdoa para malaikat, tempat turunnya wahyu bagi para nabi dan tempat curahan rahmat bagi yang taat .
Jika demikian ayat 16 ini tidak ditujukan kepada orang-orang yang beriman dan yang mengambil pelajaran dan peringatan-peringatan Allah, menghimpun kebahagiaan dunia dan akhirat, tetai ditujukan kepada merekayang mengabaikan kehidupan akhirat atau mementingkan dunia semata-mata .
  
“Sedangkan kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.”
Imabalan Allah di akhirat lebih bailk daripada di dunia dan lebih kekal, karena dunia dalah daniyah (hina) dan fana , sementara aakhirat adalah mulia dan kekal. Orang yang berakal tidak mengkin mengutamakan sesuatu yang fana daripada sesuatu yang kekal .
Kata khair/lebih baik dan abqa /lebih kekal menurut Quraish Shihab keduanya berbentuk superlatitif. Ini memberi kesan perbandingan dengan kehidupan duniawi, surga lebih baik dan kekal dibandingkan dengan kenikmatan dunia. Ini berarti bahwa dunia pun mempunyai segi kebaikannya, namun kehidupan akhirat kelak, jauh lebih baik dan kekal .
Ada juga ulama tafsir yang tidak memahami kedua kata tersebut dalam arti superlatif, sehingga dengan demikian ayat 17 ini bila diterjemahkan menjadi:Sedang kehidupan di akhirat lebih baik dan kekal. Pendapat terakhir dapat mengarah pada pengabaiaan sama sekali, karena dengan pemahaman seperti itu, seakan-akan dunia tidak memiliki segi positif sedikit pun .
Imam Ahmad berkata: Husain bin Muhammad berkata kepada kami, Daud berkata kepada kami Abu Ishaq, dari Urwah, dari Aisyah, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda, “Dunia adalah tempat bagi siapa yang tidak memiliki tempat dan harta bagi yang tidak memiliki harta. Dunia juga memiliki sesuatu yang dikumpulkan oleh siapa yang memiliki akal.”
Selain dalam hadits di atas Imam Ahmad berkata: Sulaiman bin Daud Al Hasyimi berkata kepada kami, Isma’il bin Ja’far berkata kepada kami, Amru bin Abu Amru menggambarkan kepada kami dari Al Muthallib bin Abdullah, dari Abu Musa Al-Asy’ari, Rasulullah SAW bersabda yang artinya:“Barang siapa mencintai dunianya maka ia akan melarat (miskin) dalam kehidupan akhiratnya. Barang siapa mencintai kehidupan akhirat maka ia akan melarat (miskin ) dalam kehidupan dunianya. Jadi pilihlah kehidupan yang kekal dari kehidupan yang fana”. Hadits ini hanya diriwayatkan oleh Imam Ahmad .




2. Tafsir Surat Al-Hadid Ayat 20
Ayat ini tidak mempunyai asbabun nuzul.
Ayat ini bermunasabah dengan beberapa ayat Al-Qur’an diantaranya : QS.Al-Kahfi :46, QS. Muhammad:36, QS. Yunus:24, QS. Az-zumar:21, QS:Ar-Ra’d: 26.
              ...
“Ketahuilah, bahwa Sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak...
Menurut Ibnu Katsir, dalam ayat ini Allah subhanahu wata’ala berfirman merendahkan dan menghinakan kehidupan dunia.
Yakni yang dihasilkan oleh kehidupan duniawi bagi penghuninya hanyalah sebagaimana yang disebutkan dalam ayat tersebut. Seperti firman Allah ta’ala:
 ••                         
“dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, Yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak[186] dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)”. (QS. Ali Imran:14).
Quraish Shihab di dalam tafsirnya menyatakan bahwa pada ayat tersebut digunakan lafadz (إنما) yang artinya tidak lain atau hanya yang mengandung makna pembatasan, sehingga bila merujuk ke redaksi ayat, maka selain yang disebut oleh redaksinya, bukan merupakan bagian dari kehidupan dunia. Beliau menjelaskan bahwa lafadz (إنما) dalam ayat tersebut berfungsi sebagai penegasan dan penggambaran bahwa hal-hal itulah (permainanan, sesuatu yang melalaikan, permainan, dst.) yang terpenting dalam pandangan orang-orang yang lengah.
Kata (لعب) yang biasa diterjemahkan permainan digunakan oleh Alquran dalam arti suatu perbuatan yang dilakukan oleh pelakunya bukan untuk suatu tujuan yang wajar, dalam arti membawa manfaat atau mencegah madharat. Artinya permainan tersebut dilakukan tanpa tujuan dan hanya digunakan untuk menghabiskan waktu. Sementara itu kata (لهو) artinya suatu perbuatan yang mengakibatkan kelengahan pelakunya dari pekerjaan yang bermanfaat atau lebih bermanfaat dan penting daripada yang sedang dilakukannya itu.
Kemudian Allah ta’ala berfirman:
      ...
...seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani...
Menurut Ibnu Katsir, Allah ta’ala memberikan perumpamaan kehidupan dunia seperti tanaman yang tumbuh kerena turunnya hujan, sehingga mengagumkan para petani yang melihatnya. Maka seperti para petani yang kagum dengan tanaman-tanaman itu, kehidupan dunia juga telah membuat orang kafir terkagum-kagum, karena mereka adalah orang yang paling rakus terhadap dunia.
Quraish Shihab menjelaskan mengapa kata (الكفّار) diartikan petani. Dia Mengatakan bahwa kata (الكفّار) adalah jamak dari kata (كافر). Kata ini terambil dari kata (كفر) yang berarti menutup. Maksudnya adalah para petani, karena mereka menanam benih dengan cara menutupnya dengan tanah.
       ...
..kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur...
Maksudnya tanaman itu berubah menjadi kuning setelah sebelumnya berwarna hijau, kemudian menjadi kering, lapuk dan akhirnya hancur. Seperti itulah kehidupan dunia mulanya muda belia, kemudian dewasa, dan akhirnya menjadi tua, lemah tak berdaya dan akhirnya mati.
               
...Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.
Maknanya bahwa di akhirat hanya ada adzab yang pedih atau ampunan dan keridhaan Allah ta’ala. Kehidupan dunia ini hanya kesenangan yang fana yang menipu siapa saja yang cenderung kepadanya. Sehingga banyak manusia yang tertipu dan lebih mengutamakan kehidupan dunia daripada kehidupan akhirat, bahkan ada sebagian manusia yang mangingkari adanya kehidupan akhirat.
B. Adanya Pembalasan Akhirat
1. Surat Yasin Ayat 78-83
Asbabun nuzul :
Firman Allah SWT, “Dan apakah manusia tidak memperhatikan. “Ibnu Abbas berkata, manusia itu adalah Abdullah bin Ubai.” Sa’id bin Jubair berkata, “Dia adalah Ash bin Wa’il As-Sahmi.” Al Hasan berkata, “Dia adalah Ubai bin Khalaf Al Jahmi.”Demikian juga yang dikatakan Ibnu Ishak, dan juga diriwayatkan oleh Ibnu Wahb dari Malik .
“Bahwa kami menciptakannya dari setitik air (mani),” yaitu setetes air. Dikatakan nathafa apabila menetes (keluar setitik demi setitik).”Maka tiba-tiba ia menjadi penantang yang nyata!”atau lawan dalam pertikaian dan dalam menjelaskan hujah. Maksudnya, bahwa air sebelum tidak menjadi apa-apa itu berubah menjadi penantang yang nyata. Hal itu, karena manusia itu datang kepada Nabi Muhammad SAW membawa tulang yang sudah berubah, lalu dia berkata, “Wahai Muhammad, tidakkah engkau tahu bahwa Allah menghidupkan ini setelah hancur?” Nabi Muhammad SAW kemudian menjawab, “Iya, dan Allah akan membangkitkanmu, dan memasukkanmu ke dalam neraka”. Lalu turunlah ayat ini .
Ayat ini bermunasabah dengan beberapa ayat Al-Qur’an diantaranya :QS.An-nazi’at: 11, QS. Al-Isra’:49, QS.Al-Baqarah:98.

Firman Allah SWT,
            
“Dan dia membuat perumamaan bagi Kami; dan dia lupa kepada kejadiannya . Dia berkata , “Siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang yang hancur telah luluh?”. “Dan dia membuat perumamaan bagi Kami; dan dia lupa kepada kejadiannya”, maksudnya, dia lupa bahwa Kami menciptakannya dari setetes air mani yang mati, lalu kami ciptakan di dalamya kehidupan, atau jawaban dari Nabi Muhammad SAW adalah mengiyakan.
k“Dia berkata, “Siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang yang hancur telah luluh?”. Maksudnya telah rusak. Ada yang mengatakan, “Bahwa orang kafir ini berkata kepada Nabi SAW, “Bagaimana pendapatmu, jika aku menyerahkan tulang-tulang ini di udara apakah Tuhan-mu mengembalikannya?”.
Maka turunlah firman Allah,
    •       
“Katakanlah, “Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakan kali pertama,” maksudnya, sejak belum menjadi apa-apa , akan tetapi Allah Maha Kuasa untuk mengembalikan pada penciptaan kali yang kedua dari sesuatu. “Dan Dia Maha mengetahui tentang segala hakikat makhluk ,”maksudnya,bagaimana Dia menciptakan dan mengembalikan .
Firman Allah SWT,
           
“Yaitu Tuhan yang menjadikan untukmu api kayu yang hijau.” Allah memperingatkan akan keesaan-Nya. Ayat ini menunjukan pada kesempurnaan kekeasaanNya dalam menghidupkan orang mati dengan apa yang mereka saksikan, seperti mengeluarkan api dari yang kering kemudian api itu membakar kayu yang masih hijau. Hal itu, karena orang kafir itu berkata, “Berdasarkan tabiat kehidupan, air mani itu hangat dan basah, sehingga keluar sesuatu yang hidup darinya. Sedangkan tulang basah akan kering jika telah mati, maka bagaimana bisa keluar kehidupan darinya.”. “Yaitu Tuhan yang menjadikan untukmu api dari kayu yang hijau “. Maksudya sesungguhnya pohon hijau itu mengandung air dan air itu basah dingin dan lembab, kebalikan dari api dan keuanya tidak mungkin bersatu. Akan tetapi Allah mengeluarkan api dari pohon hijau itu. Karena Dia mampu untuk mengeluarkan api dari pohon yang hijau itu. Karena Dia mampu untuk mengeluarkan lawan adari lawannya, dab Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Allah SWT kemudian berkata seraya menyanggah,
               
“Dan tidaklah Tuhan yang menciptakan langit dan bumi itu berkuasa menciptakan kembali jasad-jasad mereka yang sudah hancur itu?,” maksudnya seperti orang-orang mengingkari hari kebangkitan.
Firman Allah SWT,
          
“Sesungguhnya perintah-Nya apabila Dia menghendaki esuatu hanyalah berkata kepadanya, ‘Jadilah!’maka terjadilah ia.”Jika Allah ingin menciptakan sesuatu, Dia tidak perlu capek dan berusaha Dan ini telah dijelaskan di beberapa tempat .
        
“Maka Maha Suci (Allah) yang ditangan-Nya kekuasaan atas segala sesuatu dan kepada-Nyalah kamu dikembalikan.” Allah menyucikan diri-Nya dari ketidak mampuan dan persekutuan . Malakuut dan malakuuti dalam perkataan orang Arab maknanya sama. “Dan kepada-Nya-lah kamu dikembaliakan,”maksudnya, dikembalikan setelah kematiannmu.


2. Surat Qaaf Ayat 21-22
Ayat ini tidak mempunyai asbabun nuzul.
Ayat ini bermunasabah dengan beberapa ayat Al-Qur’an diantaranya : QS. Ibrahim: 51, QS. Al-Ankabut : 57, QS. Al Anbiya’:35

   •   
“dan datanglah tiap-tiap diri, bersama dengan dia seorang Malaikat penggiring dan seorang Malaikat penyaksi”. (QS. Qaaf: 21).
Para ulama berbeda pendapat dalam memaknai kata (سآئق) dan (شهيد), menurut Ibnu Abbas, (سآئق) adalah malaikat penggiring, sedangkan (شهيد) adalah saksi dari diri mereka sendiri, yaitu kaki dan tangan mereka. Al Hasan dan Qatadah menafsirkan bahwa makna dari kata (سآئق) adalah penggiring jiwa-jiwa manusia, dan makna dari (شهيد) adalah saksi yang mempersaksikan amal perbuatan manusia. Mereka tidak menyebutkan apakah penggiring dan saksi itu adalah malaikat atau bukan. Sedangkan menurut Mujahid, (سآئق) dan (شهيد) adalah dua malaikat yang ditugaskan untuk menggiring dan mempersaksikan manusia di akhirat nanti. Makna ini sejalan dengan penafsiran dari Ibnu Katsir, beliau menafsirkan bahwa (سآئق) dan (شهيد) adalah malaikat yang menggiring ke padang mahsyar dan malaikat yang mempersaksikan amal perbuatannya.
Makna ini sesuai dengan sebuah riwayat dari Utsman bin Affan yang diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah, bahwa ketika Utsman sedang berpidato, ia membaca ayat ini (surat Qaaf: 21) makna dari kata (سآئق) adalah seorang malaikat yang mnggiring manusia ke hadapan Allah ta’ala dan (شهيد) adalah seorang malaikat yang mempersaksikan perbuatan mereka . Pendapat ini juga dipilih oleh Al Qurthubi dan Ath Thabari. Al Qurthubi mengatakan bahwa pendapat inilah yang paling diunggulkan.
            
“Sesungguhnya kamu berada dalam Keadaan lalai dari (hal) ini, Maka Kami singkapkan daripadamu tutup (yang menutupi) matamu, Maka penglihatanmu pada hari itu Amat tajam”. (QS. Qaaf: 22).
     
Sesungguhnya kamu berada dalam keadaan lalai dari (hal) ini
Para ulama berbeda pendapat mengenai siapa yang dimaksud “kamu” dalam ayat di atas. Ibnu Abbas dan Adh Dhahhak menafsirkan bahwa maksudnya adalah kaum musyrikin yang sebelumnya lalai akan akibat dari perbuatan mereka. Kebanyakan ulama tafsir, berpendapat bahwa maknanya adalah tentang orang-orang yang suka berbuat kebaikan dan keburukan. Pendapat inilah yang dipilih oleh Ath Thabari. Tetapi, beberapa ulama berpendapat bahwa ayat ini tidak dapat ditafsirkan kecuali dengan ayat sebelumnya, sehingga maknanya adalah kamu wahai manusia sebelumnya berada dalam kelalaian bahwa setiap jiwa itu pasti akan diberikan penggiring dan penyaksi . Pendapat ini juga sejalan dengan pendapat Ibnu Katsir, beliau mengatakan bahwa khithab ayat ini ditujukan kepada manusia itu sendiri . Tetapi, beliau tidak menyebutkan apakah ayat ini harus ditafsirkan dengan ayat sebelumnya atau tidak.
  
“Maka Kami singkapkan daripadamu tutup (yang menutupi) matamu”
Para ulama juga berbeda pendapat tentang makna ayat ini, diantara pendapat-pendapat tersebut adalah pendapat pertama dari As Suddi, yaitu ketika janin-janin yang sebelumnya di dalam perut ibunya dilahirkan. Pendapat kedua dari Ibnu Abbas, yaitu ketika seluruh manusia yang ada di dalam kubur akan dibangkitkan. Pendapat ketiga dari Mujahid, yaitu ketika seluruh manusia akan dikumpulkan di padang Mahsyar . Dengan demikian, jika kita melihat kembali pada ayat-ayat sebelumnya, maka pendapat yang berkaitan dengan ayat sebelumnya adalah pendapat dari Ibnu Abbas dan Mujahid.
   
maka penglihatanmu pada hari itu amat tajam”.
Ibnu Katsir menyatakan bahwa maksudnya adalah sangat kuat, karena setiap manusia pada hari kiamat kelak akan memiliki pandangan yang sangat kuat, termasuk orang-orang kafir ketika di dunia. Di hari kiamat kelak pandangan mereka tetap stabil, tetapi tidak memberi manfaat apa-apa bagi mereka . Sedangkan Al Qurthubi menyatakan bahwa, beberapa ulama berpendapat bahwa maksud dari penglihatan pada ayat ini adalah penglihatan hati (mata hati) .

BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dunia ini adalah kenikmatan yang sesaat, seperti halnya permainan. Akan tetapi kita tidak boleh meninggalkan dunia secara mutlak. Kita harus bisa memanfaatkan kehidupan dunia untuk meraih kehidupan akhirat, jangan sampai kita tertipu oleh kemegahan, keindahan, dan kenikmatan dunia, seperti halnya orang-orang kafir yang terkagum-kagum dengan kehidupan dunia.
Kita harus meyakini bahwasanya kita akan dibangkitkan oleh Allah setelah kita mati, meskipun tubuh kita telah hancur dan yang tersisa hanyalah tulang-belulang. Setelah kita dibangkitkan dari kubur, maka kita kan menghadap kepada Allah untuk menerima pembalasan atas apa yang telah kita lakukan di dunia.

DAFTAR PUSTAKA
Al Hafizh ‘Imaduddin Abu Al Fida’ Ismail Ibnu Katsir; penerjemah, Farizal Tirmidzi.Tafsir Juz ‘Amma.Jakarta:Pustaka Azzam, cet,11.2007

M.Quraish Shihab. Tafsir Al-Mishbah. Jakarta:Lentera Hati.2002

M.Quraish Shihab. Tafsir Al-Misbah:Peasan, Kesan , dan Keserasian Al Qur’an. Jakarta: Lentera Hati.2002

Syaikh Imam Al-Qurthubi; penerjemah, Akhmad Khotib.Al Jami’ li’Ahkam Al-Qur’an. Jakarta:Pustaka Azzam.2009

Abdullah bin Muhammad ‘Abdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh, Tafsir Ibnu Katsir ; penerjemah, M. Abdul Ghafar E.M. et all. Bogor: Pustaka Imam Syafi’i, cet. III.2004

Tidak ada komentar:

Posting Komentar