Jumat, 10 Desember 2010

EKSPRESI KEISLAMAN MASYARAKAT BLORA DALAM PROSESI PERAWATAN JENAZAH

BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Masyarakat Blora mempunyai ritual khusus dalam prosesi perawatan jenazah muslim/muslimah. Secara umum jenazah mengalami proses: dimandikan, dikafani, disholatkan, dan dikuburkan. Akan tetapi, sebagian besar masyarakat di Kabupaten Blora mempunyai ritual tambahan sesudah proses memandikan dan sebelum proses mengkafanani. Selain itu dalam prosesi penguburan ada hal unik yang patut kita selidiki.
Di Kelurahan Jepon, Kecamatan Jepon, Kabupaten Blora, sebagian besar masyarakat mempercayai bahwa jenazah seorng muslim/muslimah setelah dimandikan dan sebelum dikafani terlebih dahulu harus dibaringkan di atas tempat yang agak tinggi kemudian di atas perut jenazah atau Si mayit di letakkan sebuah pisau atau dalam bahasa masyarakat setempat “gaman”, dan di atas kepala Si Mayit di letakkan sebuah lampu minyak atau dalam bahasa masyarakat setempat dikenal dengan “dilah”. Selain itu dalam proses penguburan, sebelum jenazah dimasukan ke liang kubur pihak yang menguburkan menyiapkan tiga gumpalan tanah yang dibentuk bola.
Ritual khusus yang telah dipaparkan diatas bukan hanya sebuah ritual tanpa arti akan tetapi didalam ritual atau budaya tersebut terdapat filosofi Islami yang sampai sekarang masih dilestarikan oleh sebagian besar masyarakat Blora. Namun, terdapat juga penduduk yang melaksanakan ritual tersebut, tetapi mereka tidak tahu makna dari ritual tersebut.






BAB II
PEMBAHASAN
Dalam perawatan Jenazah masyarakat pada umumnya, jenazah seorang muslim/muslimah tidak akan lepas dalam prosesi : dimandikan, dingkafani, dishalatkan, dan dan dikuburkan. Hukum melaksanakan pengurusan jenazah seorang muslim/muslimah dengan cara-cara tersebut adalah fardu kifayah bagi orng-orng Islam yang masih hidup. Artinya berdosa jika tidak ada seorang pun yang mengerjakannya. Karena itu setiap muslim/muslimah hendaknya mempelajari serta memahami tata cara pengurusan jenazah itu dengan sebaik-baiknya .
Masyarakat Blora mempunyai ritual khusus dalam prosesi perawatan jenazah muslim. Secara umum jenazah mengalami proses dimandikan, dikafani, disholatkan, dan dikuburkan. Akan tetapi, sebagian besar masyarakat di Kabupaten Blora mempunyai ritual tambahan sesudah proses memandikan dan sebelum proses mengkafanani. Selain itu dalam prosesi penguburan ada hal unik yang patut kita selidiki. Di Kelurahan Jepon, Kecamatan Jepon, Kabupaten Blora, sebagian besar masyarakat mempercayai bahwa jenazah seorng muslim/muslimah setelah dimandikan dan sebelum dikafani terlebih dahulu harus dibaringkan di atas tempat yang agak tinggi kemudian di atas perut jenazah atau Si mayit di letakkan sebuah pisau atau dalam bahasa masyarakat setempat “gaman”, dan di atas kepala Si Mayit di letakkan sebuah lampu minyak atau dalam bahasa masyarakat setempat dikenal dengan “dilah”. Selain itu dalam proses penguburan, sebelum jenazah dimasukan ke liang kubur pihak yang menguburkan menyiapkan tiga gumpalan tanah yang dibentuk bola. Masyarakat setempat menyebut tiga gumpalan bola dari tanah tersebut dengan “gelu”.
Pada hari yang sama, Jum’at 19 Novemper 2009, penulis mengadakan wawancara dengan 3 warga Kelurahan Jepon, Kecamatan Jepon, Kabupaten Blora yang berbeda profesi dan usia. Dalam wawancara pertama, ketika diberikan pertanyaan “Adakah ritual khusus dalam perawatan jenazah di Blora?” narasumber menjelaskan bahwa “Di Kabupaten Blora, sebelum dikafani jenazah dibaringkan terlebih dahulu diatas ranjang atau kasur, lalu di atas perut jenazah diletakkan “gaman”, dan diatas kepala jenazah diletakkan sebuah “dilah”. Selain itu dalam prosesi penguburan orang yang menguburkan memasukan 3 buah bola dari tanah yang kemudian diletakkan di atas kepala, di pantat dan di kaki”. Lalu, penulis menanyakan “Apakah makna dari “dilah”, “gaman”, dan “gelu” ? narasumber menjawab tidak begitu mengetahui makna dari ketiga benda tersebut, khususnya “Gelu”. Akan tetapi narasumber menjawab “dilah” singkatan dari “wedi Gusti Allah” atau dalam bahasa Indonesia takut kepada Allah, sedangkan “gaman” singkatan dari “gawa iman” yang dalam bahasa Indonesia membawa iman .
Dalam wawancara ke-dua penulis memberikan pertanyaan yang sama seperti halnya pertanyaan dalam wawancara pertama. Narasumber kedua juga menyebut ketiga istilah di atas. Ketika penulis menyakan makna dari ketiga benda tersebut narasumber menjawab “Dari dulu jika ada orang meninggal, kami selalu melakukan itu. Itu sudah budaya turun-temurun”. Jawab narasumber ke-dua.
Wawancara yang terakhir, narasumber memberikan informasi yang cukup memuaskan. Beliau memaparkan “dillah” adalah singkatan dari “wedi Guti Allah” atau dalam bahasa Indonesia takut kepada Allah. Makna filosofi dari “dilah” tersebut adalah Si Mayit dalam kehidupan di dunia adalah umat Islam yang taat, yang takut kepada Allah. “Dilah” atau lampu minyak tadi diharapkan memberi keterangan bagi Si Mayit ketika di akhirat. Selanjutnya, makna dari “gaman” yang merupakan singkatan dari “gawa iman” atau dalam bahasa Indonesia membawa iman, memiliki filosofi bahwa Si Mayit di akhirat kelak dapat terus membawa iman, sehinngga akan mudah dalam menjawab pertanyaan malaikat tentang siapa TuhanMu? Siapa Nabimu?.Terakhir adalah “gelu” singkatan dari “gak oleh pedhot telu” atau dalam bahasa Indonesia tidak boleh terputus tiga. Tidak boleh putus tiga disini mengandung filosofi tentang tiga perkara dari muslim/muslimah yang tidak pernah putus sampai di akhirat kelak, yaitu : amal jariah, anak sholeh, dan ilmu yang bermanfaat. Dalam prosesi penguburan, ketiga perkara yang tidak pernah putus ini disimbolkan dalam tiga tanah yang di bebtuk bola, yang diletakkan pada tiga bagian yaitu: kepala, pantat, dan kaki .
Narasumber juga memaparkan, bahwa sebagian masyarakat setempat masih percaya tentang hal tersebut dan masih melestarikan budaya itu dalam prosesi perawatan jenazah. Akan tetapi, dengan berkembangnya pemahaman masyarakat ada yang sudah tidak menerapkan ritual tersebut .
Dari pengamatan tentang ekspresi keislaman masyarakat di kabupaten Blora dalam prosesi perawatan jenazah tersebut mengingatkan penulis pada pendapat Nurcholis Majid. Beliau berpendapat agama dan budaya dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan. Agama bernilai mutlak, tidak berubah karena perubahan waktu dan tempat. Sedangkan budaya, sekalipun berdasarkan agama , dapat berubah dari waktu ke waktu dari tempat ke tempat. Sebagian budaya didasarkan pada agama; tidak pernah sebaliknya . Oleh karena itu, agama adalah primer, dan budaya adalah sekunder. Budaya bisa merupakan ekspresi hidup keagamaan, karena ia subordinat terhadap agama, dan tidak pernah sebaliknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar