Jumat, 10 Desember 2010

Semoga Kau Sama

Aku sungguh tak dapat membaca pikiranmu…
Tolong katakan padaku apa yang kamu rasakan padaku
Agar aku tak lelah menanti, aku tak lelah berharap dan aku setidaknya aku akan menghapus impianku untuk menjadi yang halal bagimu
Trus ku sebut engkau disetiap sujud malamku
Tapi apakah kau juga sama
Trus ku tuliskan impian indahku bersamamu
Tapi apakah kau juga sama
Semoga ya…
Sama
Friend,,, mahal kita…..

EKSPRESI KEISLAMAN MASYARAKAT BLORA DALAM PROSESI PERAWATAN JENAZAH

BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Masyarakat Blora mempunyai ritual khusus dalam prosesi perawatan jenazah muslim/muslimah. Secara umum jenazah mengalami proses: dimandikan, dikafani, disholatkan, dan dikuburkan. Akan tetapi, sebagian besar masyarakat di Kabupaten Blora mempunyai ritual tambahan sesudah proses memandikan dan sebelum proses mengkafanani. Selain itu dalam prosesi penguburan ada hal unik yang patut kita selidiki.
Di Kelurahan Jepon, Kecamatan Jepon, Kabupaten Blora, sebagian besar masyarakat mempercayai bahwa jenazah seorng muslim/muslimah setelah dimandikan dan sebelum dikafani terlebih dahulu harus dibaringkan di atas tempat yang agak tinggi kemudian di atas perut jenazah atau Si mayit di letakkan sebuah pisau atau dalam bahasa masyarakat setempat “gaman”, dan di atas kepala Si Mayit di letakkan sebuah lampu minyak atau dalam bahasa masyarakat setempat dikenal dengan “dilah”. Selain itu dalam proses penguburan, sebelum jenazah dimasukan ke liang kubur pihak yang menguburkan menyiapkan tiga gumpalan tanah yang dibentuk bola.
Ritual khusus yang telah dipaparkan diatas bukan hanya sebuah ritual tanpa arti akan tetapi didalam ritual atau budaya tersebut terdapat filosofi Islami yang sampai sekarang masih dilestarikan oleh sebagian besar masyarakat Blora. Namun, terdapat juga penduduk yang melaksanakan ritual tersebut, tetapi mereka tidak tahu makna dari ritual tersebut.






BAB II
PEMBAHASAN
Dalam perawatan Jenazah masyarakat pada umumnya, jenazah seorang muslim/muslimah tidak akan lepas dalam prosesi : dimandikan, dingkafani, dishalatkan, dan dan dikuburkan. Hukum melaksanakan pengurusan jenazah seorang muslim/muslimah dengan cara-cara tersebut adalah fardu kifayah bagi orng-orng Islam yang masih hidup. Artinya berdosa jika tidak ada seorang pun yang mengerjakannya. Karena itu setiap muslim/muslimah hendaknya mempelajari serta memahami tata cara pengurusan jenazah itu dengan sebaik-baiknya .
Masyarakat Blora mempunyai ritual khusus dalam prosesi perawatan jenazah muslim. Secara umum jenazah mengalami proses dimandikan, dikafani, disholatkan, dan dikuburkan. Akan tetapi, sebagian besar masyarakat di Kabupaten Blora mempunyai ritual tambahan sesudah proses memandikan dan sebelum proses mengkafanani. Selain itu dalam prosesi penguburan ada hal unik yang patut kita selidiki. Di Kelurahan Jepon, Kecamatan Jepon, Kabupaten Blora, sebagian besar masyarakat mempercayai bahwa jenazah seorng muslim/muslimah setelah dimandikan dan sebelum dikafani terlebih dahulu harus dibaringkan di atas tempat yang agak tinggi kemudian di atas perut jenazah atau Si mayit di letakkan sebuah pisau atau dalam bahasa masyarakat setempat “gaman”, dan di atas kepala Si Mayit di letakkan sebuah lampu minyak atau dalam bahasa masyarakat setempat dikenal dengan “dilah”. Selain itu dalam proses penguburan, sebelum jenazah dimasukan ke liang kubur pihak yang menguburkan menyiapkan tiga gumpalan tanah yang dibentuk bola. Masyarakat setempat menyebut tiga gumpalan bola dari tanah tersebut dengan “gelu”.
Pada hari yang sama, Jum’at 19 Novemper 2009, penulis mengadakan wawancara dengan 3 warga Kelurahan Jepon, Kecamatan Jepon, Kabupaten Blora yang berbeda profesi dan usia. Dalam wawancara pertama, ketika diberikan pertanyaan “Adakah ritual khusus dalam perawatan jenazah di Blora?” narasumber menjelaskan bahwa “Di Kabupaten Blora, sebelum dikafani jenazah dibaringkan terlebih dahulu diatas ranjang atau kasur, lalu di atas perut jenazah diletakkan “gaman”, dan diatas kepala jenazah diletakkan sebuah “dilah”. Selain itu dalam prosesi penguburan orang yang menguburkan memasukan 3 buah bola dari tanah yang kemudian diletakkan di atas kepala, di pantat dan di kaki”. Lalu, penulis menanyakan “Apakah makna dari “dilah”, “gaman”, dan “gelu” ? narasumber menjawab tidak begitu mengetahui makna dari ketiga benda tersebut, khususnya “Gelu”. Akan tetapi narasumber menjawab “dilah” singkatan dari “wedi Gusti Allah” atau dalam bahasa Indonesia takut kepada Allah, sedangkan “gaman” singkatan dari “gawa iman” yang dalam bahasa Indonesia membawa iman .
Dalam wawancara ke-dua penulis memberikan pertanyaan yang sama seperti halnya pertanyaan dalam wawancara pertama. Narasumber kedua juga menyebut ketiga istilah di atas. Ketika penulis menyakan makna dari ketiga benda tersebut narasumber menjawab “Dari dulu jika ada orang meninggal, kami selalu melakukan itu. Itu sudah budaya turun-temurun”. Jawab narasumber ke-dua.
Wawancara yang terakhir, narasumber memberikan informasi yang cukup memuaskan. Beliau memaparkan “dillah” adalah singkatan dari “wedi Guti Allah” atau dalam bahasa Indonesia takut kepada Allah. Makna filosofi dari “dilah” tersebut adalah Si Mayit dalam kehidupan di dunia adalah umat Islam yang taat, yang takut kepada Allah. “Dilah” atau lampu minyak tadi diharapkan memberi keterangan bagi Si Mayit ketika di akhirat. Selanjutnya, makna dari “gaman” yang merupakan singkatan dari “gawa iman” atau dalam bahasa Indonesia membawa iman, memiliki filosofi bahwa Si Mayit di akhirat kelak dapat terus membawa iman, sehinngga akan mudah dalam menjawab pertanyaan malaikat tentang siapa TuhanMu? Siapa Nabimu?.Terakhir adalah “gelu” singkatan dari “gak oleh pedhot telu” atau dalam bahasa Indonesia tidak boleh terputus tiga. Tidak boleh putus tiga disini mengandung filosofi tentang tiga perkara dari muslim/muslimah yang tidak pernah putus sampai di akhirat kelak, yaitu : amal jariah, anak sholeh, dan ilmu yang bermanfaat. Dalam prosesi penguburan, ketiga perkara yang tidak pernah putus ini disimbolkan dalam tiga tanah yang di bebtuk bola, yang diletakkan pada tiga bagian yaitu: kepala, pantat, dan kaki .
Narasumber juga memaparkan, bahwa sebagian masyarakat setempat masih percaya tentang hal tersebut dan masih melestarikan budaya itu dalam prosesi perawatan jenazah. Akan tetapi, dengan berkembangnya pemahaman masyarakat ada yang sudah tidak menerapkan ritual tersebut .
Dari pengamatan tentang ekspresi keislaman masyarakat di kabupaten Blora dalam prosesi perawatan jenazah tersebut mengingatkan penulis pada pendapat Nurcholis Majid. Beliau berpendapat agama dan budaya dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan. Agama bernilai mutlak, tidak berubah karena perubahan waktu dan tempat. Sedangkan budaya, sekalipun berdasarkan agama , dapat berubah dari waktu ke waktu dari tempat ke tempat. Sebagian budaya didasarkan pada agama; tidak pernah sebaliknya . Oleh karena itu, agama adalah primer, dan budaya adalah sekunder. Budaya bisa merupakan ekspresi hidup keagamaan, karena ia subordinat terhadap agama, dan tidak pernah sebaliknya.

WE WILL NOT GO DOWN (Song for Gaza) (Composed by Michael Heart) Copyright 2009

A blinding flash of white light
Lit up the sky over Gaza tonight
People running for cover
Not knowing whether they’re dead or alive
They came with their tanks and their planes
With ravaging fiery flames
And nothing remains
Just a voice rising up in the smoky haze
We will not go down
In the night, without a fight
You can burn up our mosques and our homes and our schools
But our spirit will never die
We will not go down
In Gaza tonight
Women and children alike
Murdered and massacred night after night
While the so-called leaders of countries afar
Debated on who’s wrong or right
But their powerless words were in vain
And the bombs fell down like acid rain
But through the tears and the blood and the pain
You can still hear that voice through the smoky haze
We will not go down
In the night, without a fight
You can burn up our mosques and our homes and our schools
But our spirit will never die
We will not go down
In Gaza tonight

Aliran Progressivisme Dalam Pendidikan Islam

BAB I
PENDAHULUAN
Progressivisme merupakan suatu paham yang beredar pada sebuah asumsi bahwa manusia itu mempunyai kemampuan yang wajar dan dapat mengatasi berbagai permasalahan yang mengancam manusia itu sendiri. Sejalan dengan itu progressivisme menolak corak pendidikan yang otoriter yang terjadi di masa lalu dan masa sekarang. Progressivisme juga tidak lepas dari muatan ilmu pengatahuan.
Suatu progresisivitas pernah dalami oleh Nabi Ibrahim a.s. dalam mencari Tuhannya, Untuk itu ia menggunakan akal pikiranya yang berproses secara interaktif antara dirinya dengan alam sekitar yang ia saksikan. Mula-mula ia melihat bintang, kemudian bulan. Terakhir ia melihat matahari yang bersinar dengan teriknya, Namun bintang, bulan,dan matahari semuanya dapat muncul dan hilang.Akhirnya setelah tahap demi tahap menyaksikan kenyataan alamiah tersebut, dengan akal pikirannya, perasaannya serta ingatannya Beliau dapat menemukan kebenaran yang haq yaitu dari Allah swt.
Dalam hubungannya dengan pendidikan Islam progressivisme ternyata amat berpengaruh dalam memajukan dunia pendidikan. Sehingga umat Islam perlu menerima perbagai kemajuan yang datang dari Barat tetapi perlu adanya filterasi dengan nilai-nilai Islam.

BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian Progressivisme
Aliran progressivisme adalah suatu aliran filsafat pendidikan yang berpengaruh dalam dunia pendidikan pada abad ke 20 ini. Pengaruh ini terasa di seluruh dunia, terlebih-lebih di Amerika Serikat. Usaha pembaharuan di dalam lapangan pendidikan pada umumnya terdorong oleh aliran progressivisme ini.
Progressivisme merupakan suatu paham yang beredar pada sebuah asumsi bahwa manusia itu mempunyai kemampuan yang wajar dan dapat mengatasi berbagai permasalahan yang mengancam manusia itu sendiri. Sejalan dengan itu progressivisme menolak corak pendidikan yang otoriter yang terjadi di masa lalu dan masa sekarang.
Ahli filsafat Pendidikan misalnya Honre, berpendapat bahwa pogressivisme adalah semua konsepsi tentang “progress” bertendensi ke arah memperluas perspektif manusia dan membuatnya kurang bergantung terhadap waktu, tempat dan lingkungan hidupnya.
Menurut John Dewey , progressivisme adalah sebuah aliran filsafat yang berorientasi ke depan dan memosikan peserta didik sebagai salah satu subjek pendidikan yang memiliki bekal atau potensi dalam pengembangan dirinya serta berpotensi untuk memecahkan pelbagai persoalan yang dihadapinya.
Dari beberaprapa pendapat diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa progressivisme suatu aliran atau konsep yang menaruh perhatian yang positif terhadap kemampuan manusia untuk menemukan permasalahan dan mencari alternatif-alternatif pemecahannya.

2. Ciri-ciri Progressivisme
Progresivisme mempunyai suatu konsep yang berlandaskan pada pengetahuan serta kepercayaan manusia yang mempunyai kemampuan yang wajar dan dapat menyelesaikan masalah yang bersifatkan menekan ataupun mengancam pada diri manusia itu sendiri. Terdapat beberapa ciri – ciri pada aliaran progresivisme meliputi :
1. Progresivisme kurang menyetujui pendidikan yang berasaskan otoriter. Dengan adanya otoriter dikuwatirkan tujuan akan tercapai dengan kurang baik. Hal ini dikarenakan dalam proses pendidikan kurang adanya rasa menghargai satu dengan yang lain dan sistem pendidikan yang hanya menggunakan satu arah, dengan mengesampingkan aspek – aspek dari luar. Padahal itu merupakan suatu motor pengerak manusia untuk mencapai suatu kemajuan atau progress.
2. Ilmu pengetahuan yang mampu menumbuhkan kemajuan. Ilmu merupakan bagian utama dari kebudayaan. Seperti halnya : Ilmu hayat, Antropologi, Psikologi, dan Ilmu alam. Ilmu pengetahuan merupakan salah satu penyumbang tersebar dalam maju berkembangnya kebudayaan manusia. Ilmu hayat menunjukkan bahwa manusia merupakan makhluk yang berjuang untuk berahan hidup, dengan mengatasi berbagai masalah atau rintangan.

Menurut Zuhairini aliran progresivisme diklasifikasikan ke dalam dua kelompok, yakni : Sifat – sifat negatif dan sifat – sifat positif. Dalam arti negatif bahwa progresivisme otoritarisme dan absolutisme dalam di segala bidang, misalnya : agama, polotik, etika. Sedangkan dalam arti positif progresivisme menaruh kepercayaan terhadap kekuatan alamiyah pada diri manusia. Terutama kekuatan manusia dalam mengatasi permasalahan – permasalahan yang timbul dari lingkungan hidup yang mengancam hidupnya.
Istilah filsafat yang dipakai untuk menggambar pandangan yang demikian disebut pragmatism. Sedangkan dalam pendidikan lebih dikenal dengan instrumentalisme dan experimentalisme. Untuk melihat pikiran itu mempunyai kebenaran atau tidak, mak perlu dilihat hasil pikiran itu. Jika pemikian itu berhasil dan mempunyai arti bagi si pemikir, hal ini menurut Dewey.
Progresivisme meyakini bahwa manusia mempunyai kesanggupan untul mengendalikan hubungan dengan alam. Yang di dalamnya sanggup meresapi rahasia – rahasia alam, sanggup menguasai alam. Maka tugas pendidikan manusia ialah menguji kesanggupan – kesanggupan di dalam pekerjaan praktis, yakni : menggunakan ide – ide atau pemikiran dalam melukkan pekerjaannya.

3. Landasan Progressivisme dalam Pendidikan Islam
Firman Allah berikut ini dapat dijadikan sumber pandangan progressivisme:
Artinya:
•         • 

Artinya:
“Mengapa kamu tidak mempercayai kebesaran Allah, padahal Dia menjadikan kamu melalui proses setingkat demi setingkat.”(Nuh,13-14)
Akan tetapi progessivisme dalam Islam, tidak sama dengan progressivisme dalam aliran Pragmatisme ala John Dewey yang menafikan/menghilangkan nilai-nilai absolute, bahkan lebih bercorak serkularists dalam nilai-nlai, sehinga nilai-nilai cultural relativisme menjadi dasar pegangan dalam proses kependidikan. Sedangkan Islam mendasri proses tersebut dengan nilai absolute yang bersifat membimbing pikiran/kecerdasan dan kemapuan dasar untuk berkembang/bertumbuh. Dengan nilai-nilai absolut itulah, proses pendidikan akan berlangsung secara tetap dan konstan ke arah tujuan yang tidak berubah-ubah.
Suatu progresisivitas pernah dalami oleh Nabi Ibrahim a.s. mencari Tuhannya, sebagai yang dikisahkan dalam kitab Suci Al-Qur’an, ayat 74-79, surat Al-An’am, menjelaskan kepada kita bahwa Nabi Ibrahim dengan melalui proses berpikiran atas landasan keyakinan bahwa Tuhan pasti ada, akan tetapi belum menemukan kebenaran hakiki tentang Tuhan. Untuk itu ia menggunakan akal pikiranya yang berproses secara interaktif antara dirinya dengan alam sekitar yang ia saksikan. Mula-mula ia melihat bintang gemerlapan di langit yang ternyata hilang diwaktu siang hari, maka ia menyimpulkan bahwa bintang itu bukan Tuhan yang ia cari. Kemudian melihat bulan yang bersinar di waktu malam, tetapi kemudian juga tidak tetap bersinar di langit, maka ia mengannggapnya bukan Tuhan yang ia cari. Terahir ia melihat matahari yang bersinar dengan teriknya, maka ia mengucapkan kata-kata:”Ha, inilah Tuhanku”, yang ini lebih besar”. Akan tetapi setelah matahari itu juga tenggelam di waktu sore dan malam hari , maka kecewalah hatinya. Akhirnya setelah tahap demi tahap menyaksikan kenyataan alamiah tersebut, dengan akal pikirannya, perasaannya sertaingatannya bereaksi dengan ucapan lisan seperti kata-kata yang ditujukan kaumnya:”Hai kaumku, sesungguhnya aku bebas dari segala apa yang kamu sekutukan”. Maka pada akhir dari proses kegiatan mencari kebenaran yang hakiki tentang Tuhannya, ia dapat menemukan Tuhan yang haq yaitu Allah swt dengan ikrar yang diucapkan melalui lisannya:”Sesungguhnya aku menghadapkan wajahku kepada Zat yang menciptakan langit dan bumi seraya cenderung hati dan pikiran kepada agama yang benar dan aku bukan termasuk golongan yang mempersekutukan Tuhan.
Proses yang dilalui oleh Ibrahim di atas, dapat dikatakan sebagai proses naluriah yang bercorak progesssiv, karena hal tersebut merupakan kecenderungan manusia untuk mengetahui tentang hal-hal yang ingin diketahui tahap demi tahap kearah titik optimal kemampuan berpikirnya yaitu suatu keimanan melalui akal pikirannya tentang adanya Allah Yang Maha Pencipta alam semesta.
Untuk mencapai titik optimal perkembangan dan pertumbuhan, manusia harus menempuh proses kependidikan yang berlangsung secara progressive di atas kemampuan dasar masing-masing yang diperlancar dan dipengaruhi oleh faktor lingkungan, baik ynag disengaja seperti pendidikan maupun yang tidak disengaja seperti alam sekitar atau pergaulan sosial.
4. Pandangan progresivisme
a. Pandangan mengenai pengetahuan
Bahwa pragmatisme itu sebenarnya adalah teori pengetahuan.
Sifat rasional dari pragmatisme terletak pada pemberian isi dan pengertian-pengertian mengenai suatu proses adanya pengalaman menjadi pengetahuan. Fakta yang masih murni saja(yang belum diolah atau disusun) belum merupakan pengetahuan.

b. Pandangan mengenai nilai
Nilai tidak timbul dengan sendirinya, tetapi factor-faktor yang merupakan pra syarat. factor-faktor yang menentukan adanya nilai, maka makna nilai itu tidaklah eksklusif. Ini berarti bahwa berbagai jenis nilai seperti benar atau salah, baik atau buruk dapat dikatakan ada bila menunjukkan adanya kecocokan dengan hasil pengujian yang dialami manusia dalam pergaulan.
c. Pandangan Tentang Belajar
Pandangan progresivme mengenai belajar bertumpu pada pandangan mengenai anak didik sebagai makhluk yang mempunyai kelebihan dibanding makhluk-makhluk lain. Disamping itu menjadi menipisnya dinding pemisah antara sekolah dan masyarakat menjadi landasan pengembangan ide-ide pendidikan progresivisme.
Sebagai makhluk, anak didik hendaklah tidak hanya sebagai kesatuan jasmani dan rohani saja, melainkan juga manifestasinya sebagai tingkah laku dan perbuatan yang berada dalam pengalamannya. Jasmani dan rohani, terutama kecerdasan, perlu difungsikan dalam arti anak disdik berada aktif dalam dan memanfaatkan sepenuh-penuhnya lingkungannya. Ia perlu mendapat kesempatan yang cukup, untuk dengan bebas dan sebanyak mungkin mengambil bagian dalam kejadian-kejadian yang berlangsung disekitarnya. Hal ini terutama mengenai kejadian-kejadian dalam lapangan kebudayaan.
Suasana belajar yang edukatif dapat ditimbulkan baik didalam maupun diluar sekolah asal berkisar pada asas-asas tersebut di atas. Dengan demikian maka pendidikan itu tidak lain adalah hidup itu sendiri.
d. Pandangan Mengenai Kurikulum
Sikap progressivisme, yang memandang segala sesuatu berasaskan fleksibilitas, dinamika dan sifat-sifat lain yang sejenis, tercermin dalam pandangannya mengenai kurikulum sebagai pengalaman yang edukatif, bersifat eksperimental dan adanya rencana dan susunan yang teratur. Landasan pikiran ini akan diuraikan serba singkat.
Yang dimaksud dengan pengalaman yang edukatif adalah pengalaman apa saja yang serasi tujuan menurut prinsip-prinsip yang digariskan dalam pendidikan, yang setiap proses belajar yang ada membantu pertumbuhan dan perkembangan anak didik. Oleh akarena tiada standar yang universal, maka terhadap kurikulum haruslah terbuka kemungkinan akan adanya peninjauan dan penyempurnaan. Fleksibilitas ini dapat membuka kemungkinan bagi pendidikan untuk memperhatikan tiap anak didik dengan sifat-sifat dan kebutuhan masing-masing. Selain ini semuanya diharapkan dapat sesuia dengan keadaan dan kebutuhan setempat.
5. Progressivisme Dalam Persfektif Pendidikan Islam
Ada banyak hal dari progressivisme yang dapat dimanfaatkan dan sejalan dengan Pendidikan Islam. Kurikulum dalam progressivisme mengandung muatan pengalaman hidup. Dalam Islam muatan pendidikannya jaga berisi tentang persoalan-persoalan kemanusiaan yang kemudian didiskusikusikan untuk dicari pemecahannya melalui ruang pendidikan baik formal maupun non formal.
Dalam muatan materi progressivisme menggunakan teori yang relevan . Teori-teori ilmuan non muslim yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam terkadang dipakai dalam pendidikan Islam.
Selain itu progressivisme juga menekannkan pada materi kurikulum pendidikan yang bersifat praktis-pragmatis. Kurikulum tidak terlalu padat . Sebisa mungkin kurikulum dibuat seminimal mumgkin namun mendalam. Al-Ghazali juga turut mendukung gagasan tersebut,beliau pernah mengungkapkan, belajar perlu penguasaan, dan jika belum menguasai suatu mater janganlah berpindah ke materi lain.
Pendidikan dalam progressivisme disesuaikan dengan kebutuhan kerja. Sedangkan pendidikan Islam dirancang untuk penataan moral.Tujuan pendidikan Islam pun tidak hanya berorientasi pada dunia saja, tetapi juga akhirat.
6. Penerapan Pogressivisme dalam Pendidikan Agama Islam
Progresivissme merupakan aliran filsafat pendidikan Barat yang amat berpengaruh dalam memajukan dunia pendidikan. Sebagai aliran filsafat Barat, tentu progressivisme memiliki basis ontology, epistimologi, dan aksiologi khas Barat dan belum tentu sesuai dengan masyarakat Timur(Islam). Pendidikan Barat secara umum bercorak sekularistik, sementara pendidikan Timur(Islam)bercorak normatif(agamis). Filafat Pendidikan Barat(progressivisme) sarat dengan muatan liberasi dan humanisasi tetapi sepi dengan nilai trandensi, sedangkan pendidikan Islam syarat dengan muatan transendentsi tetapi sepi dari nilai liberasi dan humanisasi.
Pendidikan Barat diakui atau tidak saat ini banyak memberikan warna pada kemajuan pendidikan di dunia, termasuk dalam dunia Pendidikan Islam. Sementara itu tidak seluruhnya yang dari Barat dapat diterapkan secara langsung dalam dunia Pendidikan Islam.Di sisi lain, menolak nilai kemajuan yang datang dari Barat akan menyebabkan umat Islam tertinggal di belakang. Oleh karena itu umat Islam perlu menerima berbagai kemajuan yang datang dari Barat tetapi perlu filterasi dengn nilai-nilai Islam.

BAB III
Kesimpulan

Progressivisme adalah suatu aliran atau konsep yang menaruh perhatian yang positif terhadap kemampuan manusia untuk menemukan permasalahan dan mencari alternatif-alternatif pemecahannya. Aliran ini tidak menyetujui adanya otoritas dan membuka diri dengan pengetahuan.Di dalam pendidikan Islam progressivisme juga mengambil peran dalam memajukan pendidikan, karena progressivisme memiliki pandangan-pandangan yang baik di bidang pengetahuan, nilai, belajar maupun kurikulum.



DAFTAR PUSTAKA
1. Prof.H.M.Arifin, M.Ed. Folsafat Pendidikan Islam. Jakarta:PT.Bumi Aksara.2000.
2. Prof. Imam Barnadib, M.A,Ph.D. Filsafat Pendidikan Sistem dan Metode. Yogyakarta:Andi Offset.1997.
3. Luis.O.Katt Sofl.Pengantar Filsafat. Yogyakarta:Tiara Wacana Yogya.2004.
4. Prof.Dr.Juhaya.S. Praja.Aliran-Aliran Filsafat dan Etika. Jakarta:Prenada Media.2003.
5. Dr.Ali Saifullah H.A. Antara Filsafat dan Pendidikan.Surabaya:Usaha Nasional.-
Prof. Imam Banadib, M.A.,Ph.D. Filsafat Pendidikan. Yogyakarta:PT.Gama Widya .2002

Rabu, 08 Desember 2010

TAFSIR AYAT-AYAT TENTANG AKHIRAT

BAB I
PENDAHULUAN
Sebagai seorang muslim, kita harus yakin bahwa setelah kehidupan dunia, ada kehidupan akhirat yang kekal. Akan tetapi banyak kita lihat, sebagian kaum muslimin lebih mementingkan kehidupan dunia. Hal ini nampak dalam kehidupan sehari-hari, misalnya ketika adzan telah berkumandang sebagian dari kita tidak menyegerakan untuk melaksanakan shalat. Mereka lebih suka menyibukkan diri dengan urusan-urusan dunia dan sebagainya.
Tentunya kita harus prihatin, kemudian kita juga harus berusaha untuk menyadarkan mereka agar tidak terlena oleh kehidupan dunia. Kita harus berupaya untuk mengetahui tentang hakikat kehidupan dunia dan kehidupan akhirat serta meyakini bahwa sanya segala sesuatu yang kita lakukan di dunia, baik berupa amal sholeh maupun amal buruk pasti akan mendapat pembalasan dari Allah ta’ala. Sebagaimana firmannya dalam surat Al-Zalzalah ayat 10-11.
Maka dari itu penting bagi kita untuk mengetahui hakikat kehidupan dunia dan akhirat serta pembalasan bagi perbuatan yang telah kita lakukan di dunia. Sehingga, kita akan menjadi orang yang beruntung.

A.Hakikat Akhirat
1. Tafsir Surat Al-A’laa Ayat 16-17
Ayat ini tidak mempunyai asbabun nuzul. Ayat ini bermunasabah dengan beberapa ayat Al-Qur’an diantaranya : QS.Gafir : 39, QS.Al-An’am, QS.Yusuf:57
        
“Bahkan kamu mengutamakan kehidupan dunia, padahal akhirat lebih baik dan lebih kekal”.
   
“Tetapi kamu (orang-orang kafir ) memilih kehidupan duniawi”. Menurut Ibnu Katsir, maksud dari ayat tersebut adalah “Kalian mengutamakan kehidupan duniawi daripada urusan akhirat. Kalian mengutamakan kehidupan duniawi daripada sesuatu yang memberikan kalian manfaat dan kebaikan di dunia dan di akhiratmu”. Ayat-ayat di atas mengecam manusia secara umum dan orang-orang kafir secara khusus .
Kata tu’tsirun terambil dari kata atsra yang berarti mengabil sesuatu tanpa mengambil yang lain, sehigga teras ada semacam penilaian keistimewaan tersendiri pada sesuatu yang diambil itu, keistimewaan yang tidak dimiliki oleh yang lain. Dalam bahasa Arab dikenal kata-kata ista’tsara Allahu bi-fulan. Maksudnya Allah memilihnya(mematikannya) karena adanya keistimewaan pada yang wafat itu yang tidak dimiliki oleh orang-orang lain ketika itu.
Kata ad-dunya terambil dari kata dana yang berarti dekat atau dari kata dani’ yang berarti hina. Arti pertama menggambarkan kehidupan dunia adalah kehidupan yang dekat serta dini dan dialami sekarang, sedangkan kehidupan akhirat adalah kehidupan jauh dan akan datang.Dari sini dapat dimengerti mengapa ditemukan puluhan ayat yang memperingatkan tentang hakikat kehidupan duniawi dan sifatnya yang sementara agar keindahannya tidak mengahambat perjalanan menuju Tuhan .
Al-Qur’an ketika menguraikan sifat kesementaraan dari dunia dan kedekatannya bukan berarti meremehkan kehidupan kehidupan dunia atau menganjurkan untuk meninggalkan dan tidak memperhatikannya, tetapi mengingatkan manusia akan kesementaraan itu sehingga tidak hanya berusaha memperoleh kenikmatan dan gemerlap duniawi serta mengabaikan kehidupan kekal. Hal ini terbukti dengan anjuran Al-Qur’an menjadikan dunia sebagai sarana menuju kehidupan di akhirat:
           
“Tuntutlah melalui apa yang dianugerahkan Allah kepadamu ( di dunia ini ), kebahagiaan hidup di akhirat dan jangan lupakan bagianmu di dunia ini” (QS.al-Qashas :77)
Dunia adalah kebenaran bagi yang menyadari hakikatnya, ia adalah tempat dan jalan bagi yang memahaminya. Dunia adalah arena kekayaan bagi yang menggunakannya untuk mengumpul bekal perjalanan menuju keabadian. Serta aneka pelajaran bagi yang merenung dan memperhatikan fenomena serta peristiwa-peristiwanya. Ia adalah tempat mengabdi para pecinta Allah, tempat berdoa para malaikat, tempat turunnya wahyu bagi para nabi dan tempat curahan rahmat bagi yang taat .
Jika demikian ayat 16 ini tidak ditujukan kepada orang-orang yang beriman dan yang mengambil pelajaran dan peringatan-peringatan Allah, menghimpun kebahagiaan dunia dan akhirat, tetai ditujukan kepada merekayang mengabaikan kehidupan akhirat atau mementingkan dunia semata-mata .
  
“Sedangkan kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.”
Imabalan Allah di akhirat lebih bailk daripada di dunia dan lebih kekal, karena dunia dalah daniyah (hina) dan fana , sementara aakhirat adalah mulia dan kekal. Orang yang berakal tidak mengkin mengutamakan sesuatu yang fana daripada sesuatu yang kekal .
Kata khair/lebih baik dan abqa /lebih kekal menurut Quraish Shihab keduanya berbentuk superlatitif. Ini memberi kesan perbandingan dengan kehidupan duniawi, surga lebih baik dan kekal dibandingkan dengan kenikmatan dunia. Ini berarti bahwa dunia pun mempunyai segi kebaikannya, namun kehidupan akhirat kelak, jauh lebih baik dan kekal .
Ada juga ulama tafsir yang tidak memahami kedua kata tersebut dalam arti superlatif, sehingga dengan demikian ayat 17 ini bila diterjemahkan menjadi:Sedang kehidupan di akhirat lebih baik dan kekal. Pendapat terakhir dapat mengarah pada pengabaiaan sama sekali, karena dengan pemahaman seperti itu, seakan-akan dunia tidak memiliki segi positif sedikit pun .
Imam Ahmad berkata: Husain bin Muhammad berkata kepada kami, Daud berkata kepada kami Abu Ishaq, dari Urwah, dari Aisyah, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda, “Dunia adalah tempat bagi siapa yang tidak memiliki tempat dan harta bagi yang tidak memiliki harta. Dunia juga memiliki sesuatu yang dikumpulkan oleh siapa yang memiliki akal.”
Selain dalam hadits di atas Imam Ahmad berkata: Sulaiman bin Daud Al Hasyimi berkata kepada kami, Isma’il bin Ja’far berkata kepada kami, Amru bin Abu Amru menggambarkan kepada kami dari Al Muthallib bin Abdullah, dari Abu Musa Al-Asy’ari, Rasulullah SAW bersabda yang artinya:“Barang siapa mencintai dunianya maka ia akan melarat (miskin) dalam kehidupan akhiratnya. Barang siapa mencintai kehidupan akhirat maka ia akan melarat (miskin ) dalam kehidupan dunianya. Jadi pilihlah kehidupan yang kekal dari kehidupan yang fana”. Hadits ini hanya diriwayatkan oleh Imam Ahmad .




2. Tafsir Surat Al-Hadid Ayat 20
Ayat ini tidak mempunyai asbabun nuzul.
Ayat ini bermunasabah dengan beberapa ayat Al-Qur’an diantaranya : QS.Al-Kahfi :46, QS. Muhammad:36, QS. Yunus:24, QS. Az-zumar:21, QS:Ar-Ra’d: 26.
              ...
“Ketahuilah, bahwa Sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak...
Menurut Ibnu Katsir, dalam ayat ini Allah subhanahu wata’ala berfirman merendahkan dan menghinakan kehidupan dunia.
Yakni yang dihasilkan oleh kehidupan duniawi bagi penghuninya hanyalah sebagaimana yang disebutkan dalam ayat tersebut. Seperti firman Allah ta’ala:
 ••                         
“dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, Yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak[186] dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)”. (QS. Ali Imran:14).
Quraish Shihab di dalam tafsirnya menyatakan bahwa pada ayat tersebut digunakan lafadz (إنما) yang artinya tidak lain atau hanya yang mengandung makna pembatasan, sehingga bila merujuk ke redaksi ayat, maka selain yang disebut oleh redaksinya, bukan merupakan bagian dari kehidupan dunia. Beliau menjelaskan bahwa lafadz (إنما) dalam ayat tersebut berfungsi sebagai penegasan dan penggambaran bahwa hal-hal itulah (permainanan, sesuatu yang melalaikan, permainan, dst.) yang terpenting dalam pandangan orang-orang yang lengah.
Kata (لعب) yang biasa diterjemahkan permainan digunakan oleh Alquran dalam arti suatu perbuatan yang dilakukan oleh pelakunya bukan untuk suatu tujuan yang wajar, dalam arti membawa manfaat atau mencegah madharat. Artinya permainan tersebut dilakukan tanpa tujuan dan hanya digunakan untuk menghabiskan waktu. Sementara itu kata (لهو) artinya suatu perbuatan yang mengakibatkan kelengahan pelakunya dari pekerjaan yang bermanfaat atau lebih bermanfaat dan penting daripada yang sedang dilakukannya itu.
Kemudian Allah ta’ala berfirman:
      ...
...seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani...
Menurut Ibnu Katsir, Allah ta’ala memberikan perumpamaan kehidupan dunia seperti tanaman yang tumbuh kerena turunnya hujan, sehingga mengagumkan para petani yang melihatnya. Maka seperti para petani yang kagum dengan tanaman-tanaman itu, kehidupan dunia juga telah membuat orang kafir terkagum-kagum, karena mereka adalah orang yang paling rakus terhadap dunia.
Quraish Shihab menjelaskan mengapa kata (الكفّار) diartikan petani. Dia Mengatakan bahwa kata (الكفّار) adalah jamak dari kata (كافر). Kata ini terambil dari kata (كفر) yang berarti menutup. Maksudnya adalah para petani, karena mereka menanam benih dengan cara menutupnya dengan tanah.
       ...
..kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur...
Maksudnya tanaman itu berubah menjadi kuning setelah sebelumnya berwarna hijau, kemudian menjadi kering, lapuk dan akhirnya hancur. Seperti itulah kehidupan dunia mulanya muda belia, kemudian dewasa, dan akhirnya menjadi tua, lemah tak berdaya dan akhirnya mati.
               
...Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.
Maknanya bahwa di akhirat hanya ada adzab yang pedih atau ampunan dan keridhaan Allah ta’ala. Kehidupan dunia ini hanya kesenangan yang fana yang menipu siapa saja yang cenderung kepadanya. Sehingga banyak manusia yang tertipu dan lebih mengutamakan kehidupan dunia daripada kehidupan akhirat, bahkan ada sebagian manusia yang mangingkari adanya kehidupan akhirat.
B. Adanya Pembalasan Akhirat
1. Surat Yasin Ayat 78-83
Asbabun nuzul :
Firman Allah SWT, “Dan apakah manusia tidak memperhatikan. “Ibnu Abbas berkata, manusia itu adalah Abdullah bin Ubai.” Sa’id bin Jubair berkata, “Dia adalah Ash bin Wa’il As-Sahmi.” Al Hasan berkata, “Dia adalah Ubai bin Khalaf Al Jahmi.”Demikian juga yang dikatakan Ibnu Ishak, dan juga diriwayatkan oleh Ibnu Wahb dari Malik .
“Bahwa kami menciptakannya dari setitik air (mani),” yaitu setetes air. Dikatakan nathafa apabila menetes (keluar setitik demi setitik).”Maka tiba-tiba ia menjadi penantang yang nyata!”atau lawan dalam pertikaian dan dalam menjelaskan hujah. Maksudnya, bahwa air sebelum tidak menjadi apa-apa itu berubah menjadi penantang yang nyata. Hal itu, karena manusia itu datang kepada Nabi Muhammad SAW membawa tulang yang sudah berubah, lalu dia berkata, “Wahai Muhammad, tidakkah engkau tahu bahwa Allah menghidupkan ini setelah hancur?” Nabi Muhammad SAW kemudian menjawab, “Iya, dan Allah akan membangkitkanmu, dan memasukkanmu ke dalam neraka”. Lalu turunlah ayat ini .
Ayat ini bermunasabah dengan beberapa ayat Al-Qur’an diantaranya :QS.An-nazi’at: 11, QS. Al-Isra’:49, QS.Al-Baqarah:98.

Firman Allah SWT,
            
“Dan dia membuat perumamaan bagi Kami; dan dia lupa kepada kejadiannya . Dia berkata , “Siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang yang hancur telah luluh?”. “Dan dia membuat perumamaan bagi Kami; dan dia lupa kepada kejadiannya”, maksudnya, dia lupa bahwa Kami menciptakannya dari setetes air mani yang mati, lalu kami ciptakan di dalamya kehidupan, atau jawaban dari Nabi Muhammad SAW adalah mengiyakan.
k“Dia berkata, “Siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang yang hancur telah luluh?”. Maksudnya telah rusak. Ada yang mengatakan, “Bahwa orang kafir ini berkata kepada Nabi SAW, “Bagaimana pendapatmu, jika aku menyerahkan tulang-tulang ini di udara apakah Tuhan-mu mengembalikannya?”.
Maka turunlah firman Allah,
    •       
“Katakanlah, “Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakan kali pertama,” maksudnya, sejak belum menjadi apa-apa , akan tetapi Allah Maha Kuasa untuk mengembalikan pada penciptaan kali yang kedua dari sesuatu. “Dan Dia Maha mengetahui tentang segala hakikat makhluk ,”maksudnya,bagaimana Dia menciptakan dan mengembalikan .
Firman Allah SWT,
           
“Yaitu Tuhan yang menjadikan untukmu api kayu yang hijau.” Allah memperingatkan akan keesaan-Nya. Ayat ini menunjukan pada kesempurnaan kekeasaanNya dalam menghidupkan orang mati dengan apa yang mereka saksikan, seperti mengeluarkan api dari yang kering kemudian api itu membakar kayu yang masih hijau. Hal itu, karena orang kafir itu berkata, “Berdasarkan tabiat kehidupan, air mani itu hangat dan basah, sehingga keluar sesuatu yang hidup darinya. Sedangkan tulang basah akan kering jika telah mati, maka bagaimana bisa keluar kehidupan darinya.”. “Yaitu Tuhan yang menjadikan untukmu api dari kayu yang hijau “. Maksudya sesungguhnya pohon hijau itu mengandung air dan air itu basah dingin dan lembab, kebalikan dari api dan keuanya tidak mungkin bersatu. Akan tetapi Allah mengeluarkan api dari pohon hijau itu. Karena Dia mampu untuk mengeluarkan api dari pohon yang hijau itu. Karena Dia mampu untuk mengeluarkan lawan adari lawannya, dab Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Allah SWT kemudian berkata seraya menyanggah,
               
“Dan tidaklah Tuhan yang menciptakan langit dan bumi itu berkuasa menciptakan kembali jasad-jasad mereka yang sudah hancur itu?,” maksudnya seperti orang-orang mengingkari hari kebangkitan.
Firman Allah SWT,
          
“Sesungguhnya perintah-Nya apabila Dia menghendaki esuatu hanyalah berkata kepadanya, ‘Jadilah!’maka terjadilah ia.”Jika Allah ingin menciptakan sesuatu, Dia tidak perlu capek dan berusaha Dan ini telah dijelaskan di beberapa tempat .
        
“Maka Maha Suci (Allah) yang ditangan-Nya kekuasaan atas segala sesuatu dan kepada-Nyalah kamu dikembalikan.” Allah menyucikan diri-Nya dari ketidak mampuan dan persekutuan . Malakuut dan malakuuti dalam perkataan orang Arab maknanya sama. “Dan kepada-Nya-lah kamu dikembaliakan,”maksudnya, dikembalikan setelah kematiannmu.


2. Surat Qaaf Ayat 21-22
Ayat ini tidak mempunyai asbabun nuzul.
Ayat ini bermunasabah dengan beberapa ayat Al-Qur’an diantaranya : QS. Ibrahim: 51, QS. Al-Ankabut : 57, QS. Al Anbiya’:35

   •   
“dan datanglah tiap-tiap diri, bersama dengan dia seorang Malaikat penggiring dan seorang Malaikat penyaksi”. (QS. Qaaf: 21).
Para ulama berbeda pendapat dalam memaknai kata (سآئق) dan (شهيد), menurut Ibnu Abbas, (سآئق) adalah malaikat penggiring, sedangkan (شهيد) adalah saksi dari diri mereka sendiri, yaitu kaki dan tangan mereka. Al Hasan dan Qatadah menafsirkan bahwa makna dari kata (سآئق) adalah penggiring jiwa-jiwa manusia, dan makna dari (شهيد) adalah saksi yang mempersaksikan amal perbuatan manusia. Mereka tidak menyebutkan apakah penggiring dan saksi itu adalah malaikat atau bukan. Sedangkan menurut Mujahid, (سآئق) dan (شهيد) adalah dua malaikat yang ditugaskan untuk menggiring dan mempersaksikan manusia di akhirat nanti. Makna ini sejalan dengan penafsiran dari Ibnu Katsir, beliau menafsirkan bahwa (سآئق) dan (شهيد) adalah malaikat yang menggiring ke padang mahsyar dan malaikat yang mempersaksikan amal perbuatannya.
Makna ini sesuai dengan sebuah riwayat dari Utsman bin Affan yang diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah, bahwa ketika Utsman sedang berpidato, ia membaca ayat ini (surat Qaaf: 21) makna dari kata (سآئق) adalah seorang malaikat yang mnggiring manusia ke hadapan Allah ta’ala dan (شهيد) adalah seorang malaikat yang mempersaksikan perbuatan mereka . Pendapat ini juga dipilih oleh Al Qurthubi dan Ath Thabari. Al Qurthubi mengatakan bahwa pendapat inilah yang paling diunggulkan.
            
“Sesungguhnya kamu berada dalam Keadaan lalai dari (hal) ini, Maka Kami singkapkan daripadamu tutup (yang menutupi) matamu, Maka penglihatanmu pada hari itu Amat tajam”. (QS. Qaaf: 22).
     
Sesungguhnya kamu berada dalam keadaan lalai dari (hal) ini
Para ulama berbeda pendapat mengenai siapa yang dimaksud “kamu” dalam ayat di atas. Ibnu Abbas dan Adh Dhahhak menafsirkan bahwa maksudnya adalah kaum musyrikin yang sebelumnya lalai akan akibat dari perbuatan mereka. Kebanyakan ulama tafsir, berpendapat bahwa maknanya adalah tentang orang-orang yang suka berbuat kebaikan dan keburukan. Pendapat inilah yang dipilih oleh Ath Thabari. Tetapi, beberapa ulama berpendapat bahwa ayat ini tidak dapat ditafsirkan kecuali dengan ayat sebelumnya, sehingga maknanya adalah kamu wahai manusia sebelumnya berada dalam kelalaian bahwa setiap jiwa itu pasti akan diberikan penggiring dan penyaksi . Pendapat ini juga sejalan dengan pendapat Ibnu Katsir, beliau mengatakan bahwa khithab ayat ini ditujukan kepada manusia itu sendiri . Tetapi, beliau tidak menyebutkan apakah ayat ini harus ditafsirkan dengan ayat sebelumnya atau tidak.
  
“Maka Kami singkapkan daripadamu tutup (yang menutupi) matamu”
Para ulama juga berbeda pendapat tentang makna ayat ini, diantara pendapat-pendapat tersebut adalah pendapat pertama dari As Suddi, yaitu ketika janin-janin yang sebelumnya di dalam perut ibunya dilahirkan. Pendapat kedua dari Ibnu Abbas, yaitu ketika seluruh manusia yang ada di dalam kubur akan dibangkitkan. Pendapat ketiga dari Mujahid, yaitu ketika seluruh manusia akan dikumpulkan di padang Mahsyar . Dengan demikian, jika kita melihat kembali pada ayat-ayat sebelumnya, maka pendapat yang berkaitan dengan ayat sebelumnya adalah pendapat dari Ibnu Abbas dan Mujahid.
   
maka penglihatanmu pada hari itu amat tajam”.
Ibnu Katsir menyatakan bahwa maksudnya adalah sangat kuat, karena setiap manusia pada hari kiamat kelak akan memiliki pandangan yang sangat kuat, termasuk orang-orang kafir ketika di dunia. Di hari kiamat kelak pandangan mereka tetap stabil, tetapi tidak memberi manfaat apa-apa bagi mereka . Sedangkan Al Qurthubi menyatakan bahwa, beberapa ulama berpendapat bahwa maksud dari penglihatan pada ayat ini adalah penglihatan hati (mata hati) .

BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dunia ini adalah kenikmatan yang sesaat, seperti halnya permainan. Akan tetapi kita tidak boleh meninggalkan dunia secara mutlak. Kita harus bisa memanfaatkan kehidupan dunia untuk meraih kehidupan akhirat, jangan sampai kita tertipu oleh kemegahan, keindahan, dan kenikmatan dunia, seperti halnya orang-orang kafir yang terkagum-kagum dengan kehidupan dunia.
Kita harus meyakini bahwasanya kita akan dibangkitkan oleh Allah setelah kita mati, meskipun tubuh kita telah hancur dan yang tersisa hanyalah tulang-belulang. Setelah kita dibangkitkan dari kubur, maka kita kan menghadap kepada Allah untuk menerima pembalasan atas apa yang telah kita lakukan di dunia.

DAFTAR PUSTAKA
Al Hafizh ‘Imaduddin Abu Al Fida’ Ismail Ibnu Katsir; penerjemah, Farizal Tirmidzi.Tafsir Juz ‘Amma.Jakarta:Pustaka Azzam, cet,11.2007

M.Quraish Shihab. Tafsir Al-Mishbah. Jakarta:Lentera Hati.2002

M.Quraish Shihab. Tafsir Al-Misbah:Peasan, Kesan , dan Keserasian Al Qur’an. Jakarta: Lentera Hati.2002

Syaikh Imam Al-Qurthubi; penerjemah, Akhmad Khotib.Al Jami’ li’Ahkam Al-Qur’an. Jakarta:Pustaka Azzam.2009

Abdullah bin Muhammad ‘Abdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh, Tafsir Ibnu Katsir ; penerjemah, M. Abdul Ghafar E.M. et all. Bogor: Pustaka Imam Syafi’i, cet. III.2004

Minggu, 07 November 2010

The Key to Raising Righteous and Successful Children

Islam teaches use different ways to get success. One best way is to learn Islamic knowledge based on the Qur'an and the Sunnah. We need to spend time, money, efforts, emotions and patience to learn authentic knowledge of Islam not only for our own success but also to be able to share it to others, especially to our children. The most important and lasting gift or inheritance that we can give to our children is knowledge of Islam. It is a must that we should educate our children with Islamic knowledge, becauce the parents have duty to their success and failure.
We learn further that in Islam for every Muslim it is a blessing from Allah I if he has parents who are old as it gives him the opportunity to serve them and thus earns Allah’s pleasure. He will receive success, especially the supreme success in Paradise if he follows Allah’s commandment to be dutiful to his parents. This means that if we can raise our children, teach them knowledge of Islam or give them proper Islamic education by sending them to Islamic schools, we will be expecting them to take care of us especially during our old age ¾ the time when we will be needing them most. They will to take care of us when we are weak and old as important members of their families and not to let us just stay in other’s houses or at any home of the aged. Most of all, they will include us in their daily prayers, which is the best thing that they can give us. If we raise them to be righteous and they pray for our salvation then we attain ultimate success in the Life-Hereafter.
Indeed, Allah is Most Gracious, Most Merciful. He has opened for us various ways and means to learn Islam. It is for us Muslims to learn authentic knowledge of Islam so that we please Allah the Almighty. It is only by knowing Islam that we know our Creator ¾ how we can worship Him to the best we can and therefore attain His rewards and be successful in the eternal world to come. Islam teaches us to be accountable to our respective children. The best way is for us to share our authentic knowledge of Islam to them. If we can not do this, then it is our responsibility to send them to Islamic quality schools where they will learn to be righteous and thus attain success. Let us remember that their success means our ultimate success too.

Minggu, 31 Oktober 2010

A Vision of Effective Islamic Education

Islamic society is founded on the principles of belief and righteous conduct. Islamic religious instruction, in the recent centuries, has been taught primarily as a body of information, rather than as a body of experiences.They will become moral individuals by cultivating their minds and hearts, and by having opportunities to actually see and apply Islamic values in practice.
The pervasive influence of secular materialism and its value system seriously challenges religious-minded individuals and communities. Islamic education must be able to produce Muslim youth that are able to identify, understand and then work cooperatively to solve the problems that face their community and the world in which they live and for which they are responsible. This, I believe, is the most effective form of Islamic da’wah.
This vision, in fact, is not really a "new vision," but rather a "renewed vision" of Islamic education. This is the challenge of modern-day Islamic education. The vision of Islamic education presented here makes a fundamental distinction between teaching about "Islam" and teaching about "being Muslim.". Finally, in order to achieve the goals of Islamic education it is essential to gain the active involvement of parents.
In developing our approach, we should not hesitate to benefit from recent educational research.. Effective Islamic teaching and learning must also be integrated. It must encompass and engage the whole child, spiritually, emotionally, socially, intellectually and physically. In addition, Islamic teaching and learning should be integrative across a broad range of topics and in its treatment of these topics. It should be integrative across time and place as well as integrative across the curriculum. It must integrate knowledge, beliefs, and values with action and application. Most important of all, effective Islamic teaching and learning must be value-based. By focusing on values and by considering the ethical dimensions of topics, Islamic education becomes a powerful vehicle for character and moral development, thus achieving its real purpose. Educators must realize that every aspect of the teaching-learning experience conveys values to students and provides opportunities for them to learn about values. From the selection of content, materials and activities, to the arrangement of the classroom, to class rules and management style, students are exposed to and learn values. Teachers must therefore develop a better awareness of their own values and how those values influence their behavior as role-models and what students ultimately learn from these experiences about themselves, about others and about Islam. Students must be challenged to thoughtfully examine the topics they are studying, to participate assertively in group discussions, to work productively in cooperative learning activities, and to come to grips with controversial issues. Such activities and experiences will help foster the skills needed to produce competent Muslims who are capable of presenting and defending their beliefs and principles effectively.
Finally, effective Islamic teaching and learning must be active.These are the key factors for effective Islamic teaching and learning. The vision of effective Islamic teaching and learning set forth here is based on a dynamic, rather than static, view of Islam and Islamic education. This view is rooted in the belief that the mission of Islam is to positively affect and transform the world, and that the purpose of Islamic education is to prepare young men and women who are capable of carrying out this mission—emotionally, morally, and intellectually.